Al Ustadz Abu
Hamzah Yusuf Al Atsari
Perbedaan dan perselisihan adalah perkara yang tercela
dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
وَإِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِي الْكِتَابِ لَفِيْ شِقَاقٍ
بَعِيْدٍ
“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan
Al Kitab dengan membawa kebenaran, dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih
tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.”
(Al- Baqarah: 176)
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ
النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ وَمَا
اخْتَلَفَ فِيْهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوْهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ
الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَا
اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Manusia itu umat yang satu, (setelah timbul
perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah:
213)
وَآتَيْنَاهُمْ بَيِّنَاتٍ مِنَ الأَمْرِ فَمَا
اخْتَلَفُوْا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ إِنَّ
رَبَّكَ يَقْضِيْ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ
يَخْتَلِفُوْنَ
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata tentang urusan (agama). Maka tidaklah mereka berselisih melainkan
sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat
terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (Al-Jatsiyah:
17)
Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk disebutkan.
Meski demikian, perbedaan dan perselisihan adalah tabiat manusia, di samping
keduanya adalah perkara yang telah ditaqdirkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ
رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (Hud: 118-119)
Hanya saja kaum muslimin dibebani secara syar’i untuk
meluruskan dan menghilangkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ
لَهُمُ الَّذِيْ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُوْنَ
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran)
ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
(An-Nahl: 64)
Menghadapi kenyataan demikian ini, manusia berbeda-beda
di dalam menyikapinya. Ada yang tidak menaruh respek sedikit pun, serta ada yang
tidak peduli sama sekali dengan anggapan bahwa “perbedaan dan perselisihan itu
adalah rahmat.” Anggapan ini jelas salah, karena di antara perbedaan dan
perselisihan itu ada yang menyebabkan pelakunya tercela dan mendapat murka Allah
Subhanahu wa Ta'ala, seperti perbedaan dan perselisihan dalam hal aqidah,
manhaj, bahkan agama – wal ‘iyadzubillah - dan pokok-pokok Islam
lainnya.
Ada pula yang berusaha untuk menyembunyikan perbedaan
dan perselisihan internal di tengah-tengah kaum muslimin, dengan dalih “itu
hanya akan memperkuat posisi musuh”. Tak heran bila kemudian didapati
orang-orangnya sangat gemar menyerukan agar saling menghormati, saling
memberikan toleransi, mendiamkan penyimpangan-penyimpangan, demi mencapai sebuah
persatuan dan kesatuan, sampai-sampai muncul pernyataan bahwa “madzhab-madzhab
itu adalah partai dalam fiqih, sedang partai-partai itu adalah madzhab dalam
politik.”
Propaganda semacam ini sangat berbahaya, sebab
menyembunyikan perbedaan dan perselisihan dengan menampakkan wajah persatuan dan
kesatuan adalah cara-cara yang ditempuh kaum al-maghdhubi ‘alaihim wadh
dhalliin, di mana Allah telah mensifati mereka dalam
firman-Nya:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ
شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka
berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14)
Propaganda ini jelas-jelas ajakan untuk menempuh jalan
mereka, yang padahal Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar menyelisihinya,
tidak menyerupainya, dan tidak mengikuti jejak-jejaknya.
Para pembaca, tidak diragukan lagi bahwa persatuan
adalah hal yang terpuji, bahkan banyak ayat yang memerintahkan bersatu dan
melarang berselisih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِْيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوْا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا
وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran:
105)
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا
شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung
jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا
وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى
وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا
فِيْهِ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa
yang telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura:
13)
Perlu untuk diperhatikan, tidaklah Allah memerintahkan
kaum muslimin agar bersatu dengan perintah yang mutlak. Bukanlah maksud bersatu
itu memperbanyak jumlah muslimin, namun maksudnya adalah berpegang teguh kepada
tali Allah yang kokoh.
Jumlah yang banyak tidaklah bermanfaat bila tidak
berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh, bahkan keberadaannya hanya akan
memudharatkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوْكَ
عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am:
116)
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِيْنَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman,
walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Perbedaan dan perselisihan memang hal yang tidak bisa
kita hindari. Namun bukan berarti kemudian kita meninggalkan sikap saling
menasehati, memerintah kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Karena, kaum muslimin dibebani secara syariat untuk mengusahakan segala hal yang
menjadi ketetapan atasnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا
رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu
semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.”
(Al-Mu’minun: 52)
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا
رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu
semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya:
92)
Bahkan perbedaan dan perselisihan yang timbul akibat
dari menegakkan nasehat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, membela Al-Kitab
dan As-Sunnah, penyelisihan terhadap ahlil bid’ah serta orang-orang yang sesat
dan menyesatkan, merupakan perbedaan dan perselisihan yang terpuji, tidak
tercela sedikitpun karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memisahkan
diri dari mereka itu.
Sebaliknya, adalah kedzaliman yang besar serta
pelanggaran yang fatal terhadap agama, bila menyerukan persatuan dalam keadaan
berbeda-beda manhaj dan aqidah di mana setiap orang dituntut saling menghormati,
mentolerir, dan membiarkan kebid’ahan serta penyimpangan-penyimpangan dengan
cara menutup mata dan berpura-pura tidak tahu. Wallahul
musta’an.
Inilah sebenarnya yang akan melenyapkan agama dan
menghapus kemuliaannya serta kedudukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ
عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوْا
يَعْتَدُوْنَ كَانُوْا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا
كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
“Orang-orang kafir Bani Israil telah dilaknati dengan
lisan Dawud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka
dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu.” (Al- Maidah: 78-79)
Maka perbedaan dan perselisihan adalah dua hal yang
tercela dalam agama secara umum namun tidak secara mutlak. Dengan demikian
sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui batasan-batasan perbedaan dan
perselisihan yang boleh dan yang tidak, serta batasan-batasan toleransi di
dalamnya.
Perbedaan dan perselisihan ada beberapa macam, di
antaranya:
Pertama, perbedaan dan perselisihan dalam pokok-pokok
agama, seperti dalam ibadah dan aqidah. Perkara aqidah adalah tauqifiyyah, bukan
tempatnya ijtihad, di mana kita wajib berpegang kepada perkara aqidah yang telah
Allah syariatkan, tidak boleh mengikutsertakan ra’yu (hasil pemikiran akal, red)
dan ijtihad-ijtihad kita.
Begitupun ibadah adalah perkara tauqifiyyah. Perkara
ibadah yang terdapat dalilnya maka kita amalkan dan yang tidak ada dalilnya maka
ia adalah bid’ah yang wajib untuk kita meninggalkannya berdasarkan hadits:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengadakan suatu yang baru dalam urusan
(agama) kami yang bukan berasal darinya maka tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Juga hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي
النَّارِ
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam
agama), karena tiap perkara baru itu adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu
adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasai, dan
lainnya)
Maka perkara aqidah, ibadah, dan perkara agama secara
umum tidak ada tempat untuk berbeda dan berselisih di dalamnya selama-lamanya,
akan tetapi mesti mengikuti nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta apa yang
ada pada salaful ummah, generasi terbaik umat ini.
Perbedaan dan perselisihan dalam hal ini tercela dan
diharamkan, tidak boleh saling menghormati dan memberikan toleransi, karena
pokok-pokok agama bukan tempatnya berijtihad bukan pula tempatnya untuk
memunculkan ra’yu.
Kedua, perbedaan dan perselisihan dalam perkara yang
mendapat kelapangan untuk berijtihad dari masalah-masalah fiqih dan mengambil
kesimpulan hukum dari suatu dalil. Dalam hal ini, perbedaan dan perselisihan
terjadi dalam hal ijtihad dan bukan dalam hal aqidah, tidak ada pengingkaran di
dalamnya dengan syarat setiap orang menjauhi ta’ashshub dan menjauhkan diri
mengikuti hawa nafsu. Namun jika telah nampak suatu dalil, maka wajib untuk
mengikutinya dan meninggalkan apa-apa yang tidak dibangun di atas
dalil.
Ketiga, perbedaan dan perselisihan sebagian fuqaha dalam
hal furu’ yang telah dijelaskan dan didatangkan semuanya oleh syariat. Perbedaan
dan perselisihan dalam hal ini tidaklah membahayakan, bahkan merupakan bagian
dari agama, seperti perbedaan dalam sifat adzan, jenis-jenis doa istiftah, dan
yang lainnya.
Perbedaan dan perselisihan inilah yang tidak tercela.
Dalam perbedaan ini, setiap orang mendapat kelapangan dan dapat saling
memberikan toleransi kepada yang lainnya.
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Sumber bacaan:
- Syarh Al-Ushul As-Sittah
- Syarh Masail Al-Jahiliyyah
- Sumber-sumber lainnya
- Syarh Al-Ushul As-Sittah
- Syarh Masail Al-Jahiliyyah
- Sumber-sumber lainnya
Dari majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar