|
Daftar Isi
Kata Sambutan
Ibarat sebuah negara, kita menyadari sepenuhnya bahwa Universitas Tama
Jagakarsa termasuk adalah universitas yang masih sedang berkembang. Oleh karena
itu, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk universitas ini. Salah satu di
antaranya adalah meningkatkan kemampuan dosen yang dapat menghasilkan produk
ilmiah berupa tulisan yang dimuat di berbagai media massa, atau bahkan
diterbitkan dalam bentuk modul atau pun buku ilmiah.
Upaya Drs. Suparlan, M.Ed untuk menulis dan menerbitkan modul untuk mata kuliah
yang diampunya patut mendapatkan sambutan kita semua. Sebagai dosen yang
mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang mahasiswanya banyak
yang berasal dari para guru dan calon guru yang sedang mengajar di sekolahnya,
kami menyadari bahwa penyusunan modul menjadi satu keniscayaan. Mengapa? Karena
modul menjadi sumber belajar yang sangat diperlukan. Sambil melaksanakan tugas
mengajar, para mahasiswa dapat belajar secara mandiri dengan membaca modul ini.
Apalagi, selain materi kuliah yang telah dirinci dalam 16 (enam belas) kali
pertemuan dalam satu semester, di dalam modul ini juga disertai pula dengan tes
yang harus dikerjakan oleh mahasiswa. Tes ini disusun pula untuk setiap kali
pertemuan sebagai ter formatif yang harus dijawab oleh mahasiswa, dan kemudian
didiskusikan dalam pertemuan berikut sebagai appersepsi di awal perkuliahan
berikutnya. Selain itu, modul ini diharapkan juga dapat menjadi media promosi
bagi calon mahasiswa yang akan mengikuti kuliah di universitas ini. Semakin
banyak warga masyarakat yang akan memasuki universitas ini, semakin besarlah
nama baik universitas ini. Dengan demikian, secara bertahap universitas ini
diharapkan akan mengganti label dari universitas yang sedang berkembang menjadi
universitas dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas yang maju di
negeri tercinta ini.
Kami berharap rintisan penulisan modul bagi mahasiswa ini segera dapat
diikuti oleh para dosen lain di seluruh universitas yang kita cintai ini. Amin.
Jakarta, 20 Mei 2009
Rektor,
.....................
1. Pengantar
”Jalan terpenting untuk mempertinggi mutu sekolah-sekolah
itu ialah mempertinggi mutu pendidiknya”. Demikianlah pesan Mr. Muhammad Yamin kepada para kita
semua. Pesan itu terutama ditujukan kepada penanggung jawab dunia pendidikan,
khususnya yang mengurus tentang pendidik dan tenaga kependidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak
akan berhasil tanpa melalui jalan dan upaya peningkatan mutu pendidiknya. Tanpa
guru yang dapat dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan
berikut acara kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka
prasyarat utama yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar
yang menjamin optimalisasi hasil ‘pembelajaran’ secara kurikuler ialah
tersedianya guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan
tugasnya (Fuad Hassan, Kompas, 28 Feburari 2000).
Untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru dengan
baik, para guru dan calon guru harus memiliki empat standar kompetensi guru,
yaitu: (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi
sosial, dan (3) kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogis adalah
kompetensi yang terkait dengan penguasaan guru tentang teori belajar mengajar
dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah
kompetensi yang terkait dengan penguasaan disiplin ilmu atau mata pelajaran
yang akan diajarkan, termasuk di dalamnya penguasaan terhadap hal-hal yang
terkait dengan kurikulum. Mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan Materi
Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi salah satu bekal bagi para calon guru
agar memiliki kompetensi yang memadai, khususnya kompetensi pedagagogis dan
kompetensi profesional. Dengan
demikian, guru yang dihasilkan dari lembaga pengembangan tenaga kependidikan
(LPTK) ini adalah guru yang profesional.
Di samping itu, para calon guru harus memiliki
pemahaman yang mendalam bahwa guru mempunya posisi sentral dalam sistem
pendidikan nasional. Ada tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional,
yaitu: (1) peserta didik; (2) guru,
dan (3) kurikulum.
Dalam proses belajar mengajar, ketiga komponen tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lain. Tanpa
peserta didik, guru tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa
guru para siswa juga tidak akan dapat secara optimal belajar. Tapa kurikulum,
guru pun tidak akan mempunyai bahan ajar yang akan diajarkan kepada peserta
didik. Dengan demikian, tanpa kehadiran salah satu komponen tersebut, proses
interaksi edukatif tidak akan terjadi.
Antara kurikulum dengan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Kurikulum
adalah konsepnya. Pembelajaran merupakan pelaksanaannya. Mata kuliah Kurikulum
dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini mencakup dua hal penting: (1)
kurikulum, dan (2) pengembangan materi pembelajaran dan penerapannya dalam
proses belajar mengajar di dalam kelas.
2. Kompetensi
Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Kurikulum dan
Pengembangan Materi Pembelajaran, diharapkan mahasiswa dapat memiliki
kompetensi sebagai berikut:
1.
Memahami pengertian kurikulum;
2.
Memahami definisi kurikulum;
3.
Memahami komponen utama kurikulum;
4.
Memahami proses pengembangan
kurikulum;
5.
Memahami macam-macam kurikulum;
6.
Memahami hubungan antara kurikulum, pengajaran,
dan tujuan pendidikan;
7.
Memahami sejarah perkembangan kurikulum di
Indonesia;
8.
Memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP);
9.
Memahami silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
3. Tujuan Pembelajaran
1.
Menjelaskan pengertian etimologis
kurikulum;
2.
Menjelaskan tentang filosofi dan
definisi kurikulum;
3.
Menjelaskan beberapa macam
kurikulum;
4.
Menyebutkan komponen utama
kurikulum;
5.
Menjelaskan hubungan antara kurikulum,
pembelajaran, dan tujuan pendidikan;
6.
Menjelaskan proses pengembangan kurikulum dan
pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses pengembangan kurikulum;
7.
Menjelaskan perkembangan kurikulum di Indonesia
8.
Menyebutkan dua dokumen KTSP;
9.
Menjelaskan KTSP;
10.
Menjelaskan silabus;
11.
Menyusun silabus;
12.
Menjelaskan RPP;
13.
Menyusun RPP.
4. Kegiatan Pembelajaran
4.1. Rincian Materi Pembelajaran
Mata kuliah ini disampaikan kepada
mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan rincian materi pembelajaran dalam
tabel berikut:
Tabel 4.1: Rincian Materi Pembelajaran
Pertemuan
|
Materi
pembelajaran
|
I
|
Informasi Mata
Kuliah
|
II
|
Pengertian
Etimologis Kurikulum
|
III
|
Filosofi dan
Definisi Kurikulum
|
IV
|
Komponen
Kurikulum
|
V
|
Hubungan
Kurikulum, Pembelajaran, dan Tujuan Pendidikan
|
VI
|
Macam-macam
Kurikulum
|
VII
|
Proses
Pengembangan Kurikulum
|
VIII
|
UTS (Ujian
Tengah Semester)
|
IX
|
Perkembangan
Kurikulum Di Indonesia
|
X
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen I
|
XI
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen II
|
XII
|
Silabus
|
XIII
|
Praktik
Penyusunan Silabus
|
XIV
|
RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran)
|
XV
|
Praktik
Penyusunan RPP
|
XVI
|
UAS (Ujian
Akhir Semester)
|
4.2. Uraian Materi Pembelajaran dan Beberapa Contoh
Pertemuan I: Informasi Mata Kuliah
Dalam pertemuan ini mahasiswa akan menerima fotokopi hand out silabus mata kuliah atau modul ini sekaligus, agar secara
dini mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu
semester. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh bahan lain
untuk lebih memperkaya pengetahuan dan pemahamannya terhadap materi kuliah ini.
Beberapa butir kontrak perkuliahan antara lain dapat disepakati sebagai
berikut:
1.
Setiap mahasiswa wajib memilik i modul ini;
2.
Setiap mahasiswa juga harus --- paling tidak ---
memiliki satu buku referensi yang disebutkan dalam modul ini;
3.
Untuk itu, mahasiswa harus melaporkan tentang buku
referensi apa yang dimilikinya;
4.
Pertemuan ini seluruhnya dilakukan dengan cara
pemberian informasi dialog antara dosen dengan mahasiswa;
5.
Tugas mandiri yang harus dikerjakan oleh mahasiswa
harus segera diserahkan kepada mahasiswa sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati;
6.
Dosen harus mengoreksi dan mengembalikan tugas
mandiri kepada mahasiswa;
7.
Mahasiswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan
minimum (KKM) harus mengikuti remedial
teaching atau pembelajaran remedial tentang materi yang masih kurang
tersebut.
Pertemuan II: Pengertian Etimologis Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum
berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”,
yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai
dari garis start sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah
kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di
Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan
pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang
harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
In The Curriculum, the first textbook published on the subject, in
1918, John Franklin Bobbitt said that curriculim,
as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the
curriculum as the course of deeds and experiences through which children become
the adults they
should be, for success in adult society.
Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative deed and
experience occurring in and out of school, and not experiences occurring in school; experiences
that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed for
the purposeful formation of adult members of society (www.wikipedia.com).
Secara bebas, kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Di dalam The Curriculum, buku teks
pertama yang diterbitkan tentang mata kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin
Bobbit mengatakan bahwa kurikulum, sebagai satu gagasan, memiliki akar kata
Bahasa Latin “race course” (tempat
berlari), yang menjelaskan bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan
pengalaman yang harus diperoleh anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak
sukses setelah menjadi dewasa. Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan
kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman
yang direncanakan dan yang tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara
sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat
orang dewasa.
In formal education or schooling (cf. education), a curriculum is
the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A
curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative
body (i.e. the National
Curriculum for England in English schools).
In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the
curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great
participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for
mathematical instruction. In Australia each
state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education has
the primary mission of studying curricula and their implementation worldwide.
Curriculum means two things: (i) the
range of courses from which students choose what subject matters to study, and
(ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum
collectively describes the teaching, learning, and assessment materials
available for a given course of study.
Secara terminologis, istilah
kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai
sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan
siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai
tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi
tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada
peserta didik,
Pengertian kurikulum mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakat
dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, guru besar
Universitas Pendidikan Indonesia telah mencoba untuk merumuskan perkembangan pengertian kurikulum tersebut dengan
menggunakan formula-formula sebagai berikut:
1.
K =
-------------, artinya kurikulum adalah jarak
yang harus ditempuh oleh pelari.
2.
K = Σ MP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
peserta didik.
3.
K = Σ MP + KK, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sekolah yang harus
ditempuh oleh peserta didik.
4.
K = Σ MP + K + SS + TP, artinya kurikulum adalah
sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan dan segala sesuatu yang yang berpengaruh
terhadap pembentukan pribadi peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau
sekolah.
Dari ke empat formula definisi kurikulum tersebut, dapat diambil dua butir
kesimpulan bahwa (1) definisi kurikulum berasal dari dunia olah raga, dan
kemudian digunakan dalam dunia pendidikan;
(2) definisi kurikulum senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu, mulai dari definisi yang amat sederhana menjadi definisi yang sangat
kompleks. Untuk memahami makna definisi kurikulum biasanya perlu dilakukan
analisis makna unsur-unsur definisi kurikulum, sehingga dapat diketahui
formula yang membentuk definisi kurikulum tersebut.
Pertemuan III: Filosofi
dan Definisi Kurikulum
Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara mendalam ternyata
dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar
kurikulum yang beraliran perenialisme
mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject
matter” atau mata pelajaran, ”content”
atau isi, dan ”transfer of culture”
atau alih kebudayaan (Said Hamid Hasan, dari Tanner dan Tanner, 1980: 104).
Kedua, pakar kurikulum yang menganut aliran
essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan ”cultivation of intellect” atau
pengolahan intelek.
Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis
dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme
menitikberatkan pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca,
retorika, logika, dan matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan
disiplin akademis yang lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains,
sejarah, dan bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran tersebut termasuk kelompok aliran konservatif. Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang
lebih memandang kurikulum --- bukan hanya untuk meneruskan tradisi intelektualitas
masa lalu --- tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme,
eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk
melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk
apa yang akan dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19),
kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan atau "shaping the future",
bukan hanya "adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community".
McNeil menjelaskan bahwa:
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Beberapa definisi kurikulum dapat disebutkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel III.1: Beberapa Definisi Kurikulum
No.
|
Pakar
|
Definisi
|
1
|
John Franklin
Bobbit, 1918
|
|
2
|
Hilda Taba (1962)
|
Curriculum
is a plan for learning.
|
3
|
Caswell and Campbell (1935)
|
Curriculum
is all of the experiences children have under the guidance of teachers.
|
4
|
Edward A. Krug (1957)
|
A curriculum
consists of the means used to achieve or carry out given purposes of
schooling.
|
5
|
Beauchamp (1972)
|
A curriculum
is a written document which may contain many ingredients, but basically it a
plan for the education of pupil during their enrollment in given school.
|
5
|
Saylor dan Alexander
|
“The total
effort of school to going desired outcomes in school and out school
situations”.
|
6
|
Hilda Taba
|
Curriculum
is a plan for learning.
|
7
|
Johnson
|
A structural
series of intended kearning outcomes.
|
8
|
J.F. Kerr (1972)
|
All the
learning which is planned or guided by school, whether it is carried on in
groups or individually, inside of or outside the school.
|
9
|
Caswell and Campbell
|
Curriculum
is all of the experiences children have under the guidance of teacher
|
10
|
Oliva (2004)
|
Curriculum
is a plan or program for all experiences when the learner encounters under
the direction of the school.
|
11
|
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 19)
|
Kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
|
Sumber: Dari berbagai sumber.
Daftar definisi kurikulum
tersebut dapat diperpanjang. Definisi tersebut tampak sangat bervariasi. Dari
definisi yang sangat pendek seperti yang dikemukakan oleh Hilda Taba, atau pun
Johnson, sampai dengan definisi yang panjang dari Beauchamp. Bahkan, George Beauchamp (1972) sendiri mencoba mengelompokkan definisi
kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendefinisikan bahwa
kurikulum adalah a plan for subsequent
action. Kedua, adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain
adalah pengajara dan pembelajaran (curriculum
and instruction as synonums or a unified concept). Ketiga, kelompok yang
mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas, yang meliputi proses
psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a very broad term, encompassing the learner's psychological process as
she or he acquires educational experiences).
Pada pertemuan sebelumnya telah
dipelajari bahwa untuk memahami kurikulum kita dapat membedah definisi
kurikulum ke dalam unsur-unsur kurikulum. Dengan mengetahui unsur-unsur
kurikulum, kita akan jauh lebih mudah untuk mengetahui komponen-komponen
kurikulum.
Perbedaan ruang lingkup kurikulum
juga dapat menggambarkan berbagai perbedaan dalam definisi kurikulum. Ada yang berpendapat bahwa
kurikulum adalah "statement of objectives"
(McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan
proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981).
Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah
dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk
mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara
seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan
bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Dari definisi kurikulum
sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa kurikulum itu
terdiri dari beberapa komponen utama:
1.
Isi dan bahan pelajaran;
2.
Cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
3.
Tujuan pendidikan yang akan
dicapai
Subandiyah dalam bukunya
menyebutkan komponen utama kurikulum adalah:
1.
Tujuan pendidikan;
2.
Isi/materi;
3.
Organisasi/strategi;
4.
Media;
5.
Proses belajar mengajar;
Sedang komponen penunjangnya
adalah:
1.
Sistem administrasi dan supervise;
2.
Bimbingan dan penyuluhan;
3.
Sistem evaluasi
Pertemuan V: Hubungan
Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan
Oliva (1997:12) menyatakan secara
tegas bahwa "Curriculum itself is a
construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of
ideas". Dengan kata lain, salah satu pengertian yang melekat pada
kurikulum adalah kurikulum sebagai verbalisasi dari ide atau gagasan yang
teramat kompleks yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan. Definisi lain menyatakan kurikulum sebagai satu
dokumen tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya gagasan
tersebut memerlukan penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses pengajaran
dan pembelajaran. Kurikulum sebagai dokumen dan sebagai konsep tidak mempunyai
makna apa-apa jika tidak dilaksanakan oleh pendidik dalam proses pengajaran dan
pembelajaran di dalam atau di luar kelas. Bahkan, dalam proses pelaksanaan atau
penerapan kurikulum itu sendiri juga menjadi salah satu materi tersendiri dalam
kurikulum itu, yang kita kenal sebagai kurikulum tersembunyi. Dalam kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan di luar sekolah akan
menjadi pengalaman belajar yang sangat mempengaruhi peserta didik. Dan oleh
karena itulah maka pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah dalam
proses pelaksanaan kurikulum ideal disebut sebagai kurikulum yang sebenarnya (real curriculum) atau kurikulum faktual
(factual curriculum).
Jika dokumen kurikulum yang dikembangkan disebut sebagai ideal curriculum, dan proses pengajaran dan pembelajaran di
dalam dan di luar kelas sebagai factual curriculum, maka kedua-duanya tidak
dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Dalam kurikulum ideal terdapat komponen tujuan pendidikan
yang akan dicapai. Demikian juga dalam pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran
terkandung tujuan instruksional yang tidak lain adalah tujuan pendidikan dalam
level di dalam kelas. Walhasil, baik kurikulum dalam bentuk dokumen atau ideal
maupun kurikulum faktual berupa proses pengajaran semuanya memiliki orientasi
tunggal, yakni tujuan pendidikan.
Pertemuan VI: Macam-macam Kurikulum
Kita mengenal
berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:
Ditinjau dari konsep dan
pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
1.
Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal,
sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen
kurikulum
2.
Kurikulum aktual atau faktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan
dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh
berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati
dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah
direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran
merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar
mengajar.
3.
Kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan
kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu yang terjadi di dalam
kelas, seperti kebiasaan guru, kehadiran guru, kepala sekolah, tenaga
administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri dan sebagainya akan
dapat menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
kurikulum ideal di sekolah. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar
di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat
membedakan:
1.
Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang
untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah
diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum
sebelum tahun 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum
terpisah-pisah.
2.
Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan
secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa
mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam
proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas
rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan
beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968
di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu.
3.
Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan
disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.
Berdasarkan proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya,
kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1.
Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim
pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
2.
Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing
negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat, dan
digunakan oleh masing-masing negara bagian itu.
3.
Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan
pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan
kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan
diferensiasi dalam kurikulum.
Pertemuan VII:
Proses Pengembangan Kurikulum
Proses pengembangan kurikulum a
complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes,
preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural,
social, and personal needs that the curriculum is to serve. Unruh dan Unruh
(1984)
Kurikulum memang harus dibuat. Disusun dengan proses tertentu.
Negara yang memiliki UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai
kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut berdasarkan amanat yang ada di
dalam undang-undang tersebut.
Untuk menyusun kurikulum nasional, sudah
barang tentu ada lembaga tertentu yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab
untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum yang akan digunakan secara
nasional. Di Indonesia, lembaga itu dikenal sebagai Pusat Kurikulum, yang
berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional
(Balitbang Diknas). Di negara lain tentu saja ada lembaga seperti itu. Ada beberapa
pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong biasanya dilibatkan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu:
1.
Curriculum
specialist
(spesialis kurikulum, ahli kurikulum);
2.
Teacher/instructors (guru/instruktur);
3.
Learners (peserta didik);
4.
Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas
sekolah);
5.
Central office administrators/corporeate administrators
(administrator kantor pusat/administrator perusahaan;
6.
Special experts (ahli
special);
7.
Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).
Yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan
penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi
bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Unruh dan Unruh (1984:97)
mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of
assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for
instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve.
Berbagai faktor seperti politik,
sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan
kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa
pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut
mengatakan curriculum is a product of its time. curriculum responds to and
is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles,
accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus awal
memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum
dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut:
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber:
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan,
MA
Dalam proses pengembangan
tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan
berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum
menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya
tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87)
bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the
curriculum is external insofar as the social order in general establishes the
milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us
carries around in our mind's eye models of how the schools should function and
what the curriculum should be. The external environment is full of disparate
but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal
environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views
of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural
mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly
changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Sumber:
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan,
MA
Pertemuan VIII: UTS
Dalam pertemuan V ini, mahasiswa
akan menjawab menjawab soal-soal berbentuk Benar – Salah (B/S) sebagai berikut:
1.
Secara etimologis, kurikulum
diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari (B/S)
2.
Pengertian awal kurikulum berasal
dari dunia bisnis dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan (B/S)
3.
Pengertian curriculum sama artinya dengan curriculum
vitae (B/S)
4.
Kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latim
”curir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari” (B/S).
5.
Perilaku dan kegiatan pendidik yang secara
langsung maupun tidak langsung menjadi pengalaman belajar peserta didik dalam
proses pembelajaran merupakan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) (B/S)
6.
KTSP merupakan national
curriculum (B/S)
7.
Pada tahun 1940-an, lembaga pendidikan di
Indonesia telah mulai menggunakan istilah kurikulum (B/S)
8.
Perubahan kurikulum merupakan keinginan dan
kebijakan dari menteri pendidikan atau para pengambil kebijakan pendidikan
(B/S)
9.
Rencana Pengajaran 1947 sesungguhnya bukan
kurikulum (B/S)
10.
Kurikulum untuk lembaga pendidikan
sekolah/madrasah lebih baik tidak perlu diubah-ubah sehingga menimbulkan kesan
berubah menteri berubah kurikulmnya (B/S)
11.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata
pelajaran dalam Integrated Curriculum
(B/S).
12.
Model pembelajaran tematik yang diberikan di kelas
awal Sekolah Dasar merupakan pelaksanaan dari Separated Curriculum (B/S)
13.
Sejarah merupakan mata pelajaran dalam Separated Curriculum (B/S)
14.
Sains merupakan mata pelajaran dalam Corelated Curriculum (B/S)
15.
Proses pengajaran dan pembelajaran sesungguhnya
dalam disebut sebagai kurikulum faktual (B/S)
16.
Tujuan pendidikan nasional terlepas dari makna,
pengertian, atau definisi kurikulum, baik dokumen kurikulum maupun proses
pengajaran (B/S)
17.
Perenialisme dan esensialisme merupakan aliran
progresif dalam kurikulum (B/S)
18.
Aliran perenialisme dan esensialisme kedua-duanya
mementingkan mata pelajaran yang dapat mengembangkan intelekualitas dan
transfer budaya atau transfer of culture
(B/S).
19.
UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum
adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (B/S)
20.
Dokumen kurikulum merupakan kurikulum yang
bersifat faktual (B/S)
21.
Proses pengajaran dan pembelajaran merupakan
kurikulum yang bersifat ideal (B/S)
22.
Kurikulum sebagai dokumen dan proses pengajaran di
dalam kelas, keduanya diusahakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan (B/S)
23.
Aliran rekonstruksionisme menekankan kurikulum
pada aspek transfer budaya intelektualitas masa lalu (B/S).
24.
Pemberian mata pelajaran teknologi informasi dalam
pendidikan sekolah di Indonesia memberikan indikasi bahwa Indonesia juga
menganut aliran rekonstruksionisme dalam kurikulum (B/S)
25.
Aliran rekonstruksionisme termasuk aliran
konservatif dalam kurikulum (B/S)
Pertemuan IX:
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum
dilakukan setiap sepuluh tahun
sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan
dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kurikulum
yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia dapat dijelaskan dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel IX.1: Sejarah Perkembangan
Kurikulum di Indonesia
No.
|
Kurikulum
|
Keterangan
|
1
|
Rencana
Pelajaran 1947
|
· Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, membentuk Panitia
Penyelidik Pengajaran.
· Merupakan
kurikulum pertama di Indonesia. Rencana Pelajaran yang disusun harus
memperhatikan; (1) mengurangi pendidikan pikiran, (2) menghubungkan isi
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (3) memberikan perhatian kepada
kesenian, (4) meningkatkan pendidikan watak, (5) meningkatkan pendidikan
jasmani, dan (6) meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
· Istilah kurikulum
belum digunakan. Istilah
yang digunakan adalah Rencana Pelajaran. Unsur pokok kurikulum adalah: (1)
daftar jam pelajaran atau struktur program, (2) garis-garis besar program
pengajaran.
· Struktur program
dibagi menjadi: (1) struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa
Daerah, (2) struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa
Indonesia.
· Merupakan kurikulum
dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated
curriculum).
|
2
|
Rencana
Pelajaran 1950
|
· Lahir karena
tunturan UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
di sekolah.
· Kurikulum ini masih
relatif sama dengan Rencana Pelajaran 1947
· Istilah kurikulum
masih belum digunakan. Istilah yang dipakai adalah Rencana Pelajaran.
· Kurikulum ini
merupakan kurikulum masih dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated curriculum).
|
3
|
Rencana
Pelajaran 1958
|
· Merupakan
penyempurnaan dari Rencana Pelajaran 1950.
· Digunakan sampai
dengan tahun 1964
|
4
|
Rencana
Pelajaran 1964
|
· Merupakan
penyempurnaan dari Rencana Pelajaran 1958
· Digunakan sampai
dengan tahun 1968.
· Terdapat pembagian
kelompok cipta, rasa, karsa, dan krida.
|
5
|
Kurikulum 1968
|
· Kurikulum ini
merupakan kurikulum terpadu pertama di Indonesia. Beberapa mata pelajaran
Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun
Alam (IPA) atau yang sekarang sering disebut Sains.
· Struktur program
dibagi menjadi (1) pembinaan jiwa Pancasila, (2) pengetahuan dasar, dan (3)
kecakapan khusus.
· Struktur program
untuk Sekolah Dasar, program pembinaan jiwa Pancasila meliputi mata pelajaran
(1) Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewargaan Negara, (3) Pendidikan Bahasa
Indonesia, (4) Bahasa Daerah, dan (5) Pendidikan Olahraga.
· Untuk program
pengetahuan dasar meliputi mata pelajaran
(1) Berhitung, (2) IPA, (3) Pendidikan Kesenian, dan (4) Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga.
· Untuk program
kecakapan khusus meliputi mata pelajaran Pendidikan Khusus.
· Untuk pertama
kalinya istilah kurikulum dipakai di Indonesia.
|
6
|
Kurikulum 1975
|
· Lahir sebagai
tuntutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, dengan tujuan
pendidikan ”membentuk manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di
berbagai bidang.
· Struktur program
untuk SD meliputi bidang studi (1) Agama, (2) Pendidikan Moral Pancasila, (3)
Bahasa Indonesia, (4) Ilmu Pengetahuan Sosial, (5) Matematika, (6) Ilmu
Pengetahuan Alam, (7) Olahraga dan Kesehatan, (8) Kesenian, dan (9)
Keterampilan Khusus.
· Untuk SMP ditambah
dengan bidang studi Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, dan Pendidikan
Keterampilan, baik yang pilihan terikat atau pilihan bebas.
· Untuk SMA sudah
barang tentu ada bidang studi berdasarkan jurusan, baik IPA dan IPS.
· Untuk SMK dikenal
dengan Kurikulum 1976.
· GBPP untuk
kurikulum 1975 dikenal dengan format yang sangat rinci.
|
7
|
Kurikulum 1984
|
· Kurikulum ini
merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Oleh karena itu Kurikulum 1984
dikenal juga sebagai Kurikulum 1975 Yang Disempurnakan.
· Kurikulum 1984
berlaku berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0461/U/1983 tanggal 22 Oktober 1983 tentang Perbaikan Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Menengah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
· Ada empat aspek
yang disempurnakan dalam Kurikulum 1984, yakni: (1) pelaksanaan PSPB, (2)
penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum, (3) pemilihan kemampuan
dasar serta keterpaduan dan keserasian antara ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik, (4) pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar yang
disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing peserta didik.
|
8
|
Kurikulum 1994
|
· Kurikulum 1994
merupakan pelaksanaan amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
· Kurikulum 1994
dilaksanakan berdasarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993
tanggal 25 Februari 1993.
· Kurikulum 1994
berisi 3 lampiran: (1) Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum, (2)
GBPP, dan (3) Pedoman Pelakskanaan Kurikulum.
|
9
|
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)
|
· Kurikulum ini belum
diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia.
· Pusat Kurikulum,
Balitbang Diknas bersama dengan Direktorat Teknis telah melakukan uji coba
dalam rangka proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini.
· Berdasarkan PP
Nomor 19 Tahun 2005, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai
kewenangan untuk mengembangkan standar nasional pendidikan, termasuk standar
kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah.
|
10
|
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
|
· KBK sering
disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
· Kurikukulum
ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
· Kurikulum
ini disusun oleh satuan pendidikan sekolah/madrasah bersama dengan semua
pemangku kepentingan di sekolah.
|
Sumber: Lima Puluh Tahun Pendidikan
Indonesia.
Pertemuan X: KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan
mengacu kepada standar isi (SI) dan standar kelulusan (SKL) serta berpedoman
pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan tentang Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) bahwa:
1.
Sekolah/Madrasah menyusun KTSP.
2.
Penyusunan KTSP memperhatikan
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan peraturan pelaksanaannya.
3.
KTSP dikembangkan sesuai dengan
kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik.
4.
Kepala Sekolah/Madrasah
bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5.
Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil
kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggungjawab atas pelaksanaan penyusunan
KTSP.
6.
Setiap guru bertanggungjawab
menyusun silabus setiap mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan Standar
Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP.
7.
Dalam penyusunan silabus, guru
dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), atau Perguruan
Tinggi.
8.
Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP
dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan
Provinsi yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan
KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk SDLB,
SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama.
9.
Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs
dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota, sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi.
Apa yang dimaksud kurikulum dalam UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Apa yang dimaksud KTSP ?
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan
tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah,
satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh
satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Sedang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan
oleh masing-masing satuan pendidikan.
Bagaimana Konsep Dasar KTSP?
Konsep dasar KTSP meliputi 3
(tiga) aspek yang saling terkait, yaitu (a) kegiatan pembelajaran, (b)
penilaian, dan (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.
Berpusat pada peserta didik
2.
Mengembangkan kreativitas
3.
Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan
menantang
4.
Kontekstual
5.
Menyediakan pengalaman belajar
yang beragam
6.
Belajar melalui berbuat
Penilaian dalam KTSP mempunyai
karakteristik
1.
Dilakukan oleh
guru untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi yang ditetapkan,
bersifat internal, bagian dari pembelajaran, dan sebagai bahan untuk
peningkatan mutu hasil belajar;
2.
Berorientasi pada kompetensi, mengacu pada
patokan, ketuntasan belajar, dilakukan melalui berbagai cara, yaitu (a) portfolios (kumpulan kerja siswa), (b) products (hasil karya), (c) projects (penugasan), (d) performances (unjuk kerja), dan (e) paper & pen test (tes tulis).
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
Pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah mempunyai prinsip-prinsip:
1.
Mengacu pada Visi dan Misi Sekolah
2.
Pengembangan perangkat kurikulum (a.l. silabus)
3.
Pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya
lainnya untuk meningkatkan mutu hasil belajar
4.
Pemantauan dan
Apa Landasan KTSP ?
1.
UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
2.
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan
3.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi
4.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan
5.
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 dan Nomor 6 Tahun
2007 tentang pelaksanaan Permendiknas
Nomor 22 dan 23/2006
6.
Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan
Bagaimana Prinsip
Pengembangan KTSP?
Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu kepada standar nasional
pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan PP
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan sistem
pendidikan nasional memiliki 8 (delapan) standar, yang meliputi (1) standar
isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar tenaga
kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7)
standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian
pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama
bagi satuan pendidikan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum untuk satuan
pendidikannya.
|
|
||||||
|
Prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
1. Berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan
prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan
kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung
pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan
dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta
tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran
berpusat pada peserta didik.
2. Beragam
dan Terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang
dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap
perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan
jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan
dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar
kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara
dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar
peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha dan
dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan
vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh
dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian
keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara
berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar
sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses
pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur
pendidikan formal, nonformal, dan informal
dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang
antara kepentingan Nasional dan kepentingan Daerah
Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto
Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Acuan Operasional Penyusunan KTSP
1.
Peningkatan iman dan takwa serta
akhlak mulia
2.
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3.
Keragaman potensi dan
karakteristik daerah dan lingkungan
4.
Tuntutan pembangunan daerah dan
nasional
5.
Tuntutan dunia kerja
6.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7.
Agama
8.
Dinamika perkembangan global
9.
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
11. Kesetaraan gender
12.
Karakteristik satuan pendidikan
Dokumen I KTSP
Dokumen I KTSP terdiri atas 4 bab, meliputi:
1.
Bab I Pendahuluan, meliputi subbab (A) Latar
Belakang, (B) Tujuan, dan (C) Prinsip Pengembangan KTSP.
2.
Bab II Tujuan Pendidikan, meliputi subbab (A)
Visi, (B) Misi, (C) Tujuan Sekolah.
3.
Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum, meliputi
(A) mata pelajaran, (B) muatan lokal, (C) kegiatan pengembangan diri, (D) pengaturan
beban belajar, (E) ketuntasan belajar, (F) kenaikan kelas dan kelulusan, (G) pendidikan
kecakapan hidup, dan (H) pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Mata pelajaran muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan
mata pelajaran serta aturan pengelolaan jam pelajaran mengacu pada Bab II Standar Isi. Muatan Lokal
merupakan mata pelajaran yang dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan
daerah atau satuan pendidikan. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi
dasar yang akan dicapai dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas
Pendidikan yang terkait.
Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan minat
peserta didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri adalah mengembangkan potensi peserta didik, terutama pada
perubahan perilaku sesuai dengan target yang dicanangkan oleh satuan pendidikan.
Pengaturan beban belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar
dalam bentuk tatap muka dirancang bersama oleh satuan pendidikan. Rancangan
beban belajar dalam bentuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak
terstruktur dirancang oleh guru mata pelajaran.
Ketuntasan belajar adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan
pendidikan. Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis atas
kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar, standar
kompetensi, dan mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar peserta
didik dapat mencapai, bahkan melebihi
KKM, satuan pendidikan merancang program remedial dan pengayaan.
Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan.
Acuan minimal kriteria kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang Laporan
Hasil Belajar dan POS UN tahun sebelumnya.
Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan agar
seseorang mampu dan berani menghadapi
problema kehidupan dan memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup
yang perlu dikembangkan adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik.
Kecakapan vokasional terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global
dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing
global. Keunggulan lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan
diri, maupun terintegrasi dalam mata pelajaran.
4. Bab IV Kalender pendidikan berisi rancangan
kalender sekolah yang mengacu pada kalender dinas pendidikan terkait dan
pedoman penyusunan kalender yang terdapat dalam bab IV standar isi.
Pertemuan XI: KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II
KTSP terdiri atas dua dokumen, yaitu (1) dokumen I
yang berisi tentang (a) landasan, (b) program, dan (c) pengembangan kurikulum.
Dokumen I (pertama) disusun oleh tim handal yang dibentuk oleh sekolah dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut adalah (1)
kepala sekolah, (2) guru, (3) tenaga administrasi, (4) pengawas sekolah, dan
(5) komite sekolah dan orangtua siswa, serta (6) dinas pendidikan.
Dokumen II (kedua) merupakan penjabaran secara
operasional dari dokumen pertama, terdiri atas (a) silabus dan (b) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dokumen Dokumen II disusun oleh guru kelas dan
guru mata pelajaran, atau kelompok kerja guru kelas atau guru mata pelajaran
dalam kegiatan organisasi profesi seperti Kelompok Kerja Guru (untuk guru
sekolah dasar), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau bahkan Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI).
Pertemuan XII: Silabus
Apakah itu silabus?
Silabus adalah rencana
pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang
mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian,
alokasi waktu, dan sumber belajar
Silabus menjawab tiga
pertanyaan dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu apa kompetensi yang harus dikuasai
siswa, bagaimana cara mencapainya, dan bagaimana cara mengetahui pencapaiannya.
Siapa yang menyusun silabus?
Silabus disusun oleh guru yang mengajarkan mata pelajaran. Proses
penyusunan silabus dapat saja disusun bersama oleh satu tim guru mata pelajaran,
dalam satu kegiatan guru, misalnya dalam kegiatan MGMP.
Apa landasan penyusunan silabus?
Berdasarkan
PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat
(2), Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah
supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan
untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan
di bidang agama untuk MI. MTs, MA, dan MAK.
Pertemuan XIII: Praktik
Penyusunan Silabus
Contoh
format silabus dapat dijelaskan sebagai berikut:
FORMAT SILABUS
Nama
Sekolah
|
:
|
|
Mata
Pelajaran
|
:
|
|
Standar
Kompetensi
|
:
|
|
Kompetensi Dasar
|
Materi Pembelajaran
|
Kegiatan
Pembelajaran
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi
Waktu
|
Sumber Belajar
|
||
Teknik
|
Instrumen
|
Contoh
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Indentitas:
Nama Sekolah:
diisi dengan nama sekolah, seperti SMP Negeri 1 Malang
Mata Pelajaran:
diisi dengan mata pelajaran yang diajarkan, sepert Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, dsb.
Standar
Kompetensi: diisi dengan standar kompetensi yang diambil dari standar isi yang
terdapat dalam Permendiknas Nomor 22
sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Kolom-kolom format silabus:
1.
Kompetensi Dasar: diisi dengan kompetensi dasar
yang dikutip dari standar isi;
2.
Materi Pembelajaran: diisi dengan materi
pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar tersebut;
3.
Kegiatan Pembelajaran: diisi dengan kegiatan
pembelajaran yang akan dilaksanakan agar proses pembelajaran tersebut dapat
mencapai kompetensi dasar yang diharapkan;
4.
Indikator: diisi dengan indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur apakah kompetensi dasar telah dapat dicapai atau
belum;
5.
Teknik Penilaian: diisi dengan teknik penilaian
yang digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar berdasarkan
indikator, misalnya tes tertulis, tes lisan, dsb;
6.
Instrumen Penilaian: diisi dengan bentuk instrumen
yang digunakan;
7.
Alokasi Waktu: diisi dengan berapa kali pertemuan
X menit yang diperlukan;
8.
Sumber Belajar: diisi sumber belajar yang
digunakan dalam proses pembelajaran, seperti buku apa, media belajar, sumber
belajar dari alam, dsb.
Contoh Silabus
SILABUS
Nama
Sekolah
|
:
|
SMP
Negeri 1 .......
|
Mata
Pelajaran
|
:
|
Bahasa
Inggris
|
Standar
Kompetensi
|
:
|
Menggunakan
makna dalam percakapan transksional dan interpersonal lisan pendek
sederhanauntuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
|
Kompetensi
|
Materi Pembelajaran
|
Kegiatan
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi
|
Sumber
|
||
|
|
Pembelajaran
|
|
Teknik
|
Instrumen
|
Contoh
|
Waktu
|
Belajar
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Mengungkan makna dalam percakapakan transaksional (to get things
done) dan intepersonal (bersosialisasi) sederhana dengan menggunakan ragam
bahasa lisan secara akurat, lancar, dan bertetima untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang melibatkan tindak tutur meminta, memberi, menolak
barang, mengakui, mengingatkan fakta, menerima, dan memberi pendapat.
|
Percakapan singkat memuat ungkapan-ungkapan sebagai contoh:
A: Let me help you
B: Thank you so much
A: Can I have a bit
B: Sure. Here you are
A: Did you break the glass?
B: Yes I did/ No, It wasn’t me
A: What do you think of this?
B: Not bed.
|
1. Review
kosakata dan ungkapan terkait materi dan tema
2. Tanya
jawab menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut
3. Bermain
peran melakukan percakapan yang disediakan guru
4. Bermain
peran melakukan percakapan berdasarlan situasi atau gambar
5. Menggunakan
ungkapan yang telah dipelajari dalam real
life situation.
|
1. Bertanya
dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak rasa
2. Bertanya
dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak barang
3. Bertanya
dan menjawab tentang mengakui, mengingkari fakta
4. Bertanya
dan memberi pendapat
|
Tes lisan
|
Bermain peran
|
Create a dialogue based on the role cards and
perform it in front of the class
|
2 X 40’
|
1. Buku teks yang relevan
2. Gambar-gamar yang terkait tema
3. Realita benda sekitar
|
Pertemuan XIV: RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
Setiap kali guru akan mengajar, ia harus menyusun
sebuah rencana yang kini dikenal dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Rencana ini akan menggambarkan prosedur dan langkah-langkah pengorganisasian
pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar berdasarkan standar isi dan
telah ditetapkan dalam silabus.
Mengapa harus membuat rencana? Apakah rencana itu
harus dibuat oleh guru yang belum berpengalaman saja? Apakah guru yang sudah
senior atau sudah berpengalaman masih perlu membuat rencana mengajar? Bukankah
guru senior atau yang sudah berpengalaman telah menguasai semua materi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswanya? Apakah RPP yang telah dibuat masih dapat
digunakan dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan? Apakah secara
administratif penyusunan RPP tidak justru memberatkan tugas-tugas guru di
lapangan, yang kemudian justru akan mengganggu proses pembelajarannya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul dalam
acara diskusi dengan para guru pada saat membahas tentang rencana mengajar.
Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut. Pertama, setiap guru akan melaksanakan pembelajaran, ia harus
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), baik untuk guru senior atau
terlebih-lebih untuk guru yunior. Kedua, penyusunan RPP sama sekali tidak
untuk memberatkan pekerjaan guru, justru untuk memudahkan guru dalam
pelaksanaan tugas profesionalnya. Penyusunan RPP merupakan salah satu unsur
dari standar kompetensi professional bagi para guru. Ketiga, sudah barang tentu, RPP yang lama dapat saja digunakan lagi
dalam proses pembelajaran pada tahun berikutnya, sepanjang RPP tersebut masih
relevan dengan kompetensi siswa yang akan dicapai. Oleh karena itu, RPP yang
pernah dibuat harus dikaji ulang untuk terus disempurnakan dan disesuaikan
dengan perkembangan baru dalam dunia pendidikan.
Ruang lingkup RPP mencakup 1 (satu) kompetensi
dasar yang terdiri atas 1 (satu) atau beberapa indikator untuk 1 (satu)
kali pertemuan atau lebih. Perencanaan merupakan langkah yang sangat penting
sebelum pelaksanaan kegiatan. Kegiatan belajar
mengajar (KBM) membutuhkan perencanaan yang matang agar proses belajar mengajar
dapat berjalan secara efektif. Perencanaan tersebut dituangkan ke dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain yang digunakan, seperti
rencana mengajar atau lesson plan, desain
pembelajaran, skenario pembelajaran, yang memuat seluruh kompetensi dasar yang
dijabarkan dari standar kompetensi, materi pelajaran, dan indikator yang akan dicapai,
langkah pembelajaran, waktu, media dan sumber belajar serta penilaian untuk
setiap kompetensi dasar.
Rencana pelaksanaan pembelajaran harus dibuat agar
kegiatan pembelajaran berjalan sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran, tanpa
rencana pelaksanaan pembelajaran kegiatan pembelajaran di kelas biasanya tidak
terarah. Oleh karena itu peserta harus mampu menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran berdasarkan silabus yang disusunnya. Rencana pelaksanaan
pembelajaran harus mencerminkan pendekatan PAKEM dalam pembelajaran.
Dengan demikian, jika silabus merupakan program
pembelajaran dalam jangka satu semester atau satu tahun pelajaran, maka RPP
merupakan pencabaran dari silabus sebagai program pembelajaran untuk hari ke
hari pembelajaran di sekolah, dalam satu atau beberapa kali pertemuan
pembelajaran.
Pertemuan XV: Praktik
Penyusunan RPP
Pada umumnya format RPP adalah sebagai berikut:
|
Untuk praktik penyusunan RPP, cobalah mengikuti cara pengisian format RPP
sebagai berikut:
1.
Untuk mengisi identitas RPP, mulai dari mata
pelajaran sampai dengan kompetensi dasar, isilah dengan mengacu pada standar
isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 harus
dijadikan acuannya.
2.
Untuk indikator, tujuan pembelajaran, dan
seterusnya tentu saja harus dikembangkan dari standar isi tersebut.
Masing-masing gurulah yang harus mengembangkannya.
a. Indikator
adalah patokan dasar atau tanda-tanda utama yang akan dijaikan bukti bahwa peserta didik telah mencapai
kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
b. Tujuan pembelajaran adalah tujuan instruksional yang akan dicapai
melalui kegiatan belajar dalam satu pertemuan tertentu.
c. Metode mengajar diharapkan metode yang menggunakan pendekatan
PAKEM untuk Sekolah Dasar, dan pendekatan Contextual Teaching dan Learning
(CTL) untuk SMP dan SMA.
d. Langkah
pembelajaran meiputi: (1) kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan
penutup.
Pertemuan XVI: UAS (Ujian
Akhir Semester)
Jika mahasiswa memenuhi tingkat kehadiran minimal
80%, mahasiswa dapat mengikuti UAS dengan materi tes seperti dalam modul ini.
Selain mengikuti UAS, mahasiswa harus melaksanakan tugas mandiri. Nilai akhir
semester merupakan gabungan nilai UAS dengan nilai tugas mandiri tersebut.
Adakan wawancara dengan minimal 3 (tiga) orang
guru, yang masing-masing guru SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK, untuk menanyakan
tentang KTSP pada umumnya dan silabus serta RPP pada khususnya, dengan
langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:
1.
Buatlah lembar pertanyaan untuk panduan wawancara
dengan guru-guru tersebut;
2.
Lakukan wawancara dengan menggunakan panduan
wawancara tersebut.
3.
Catat hasil wawancara dengan mereka;
4.
Buatlah laporan wawancara tersebut, minimal dalam
10 (sepuluh) halaman kertas ukuran A4, termasuk lampirannya, ditulis dalam
ketikan komputer, jilid dengan rapi
5.
Serahkan kepada dosen Anda sehari sebelum UAS.
1.1 Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan
Tes Formatif Pertemuan II:
Pengertian Etimologis Kurikulum
Tes esai:
1.
Jelaskan pengertian kurikulum secara etimologis!!
2.
Jelaskan formula kurikulum berikut:
No.
|
Formula
Kurikulum
|
Penjelasan
|
1
|
K =
-------------
|
|
2
|
K = Σ MP
|
|
3
|
K
= Σ MP + KK
|
|
4
|
K
= Σ MP + K + SS + TP
|
|
Tes Formatif Pertemuan
III: Filosofi dan Definisi Kurikulum
1.
Jelaskan minimal dua definisi kurikulum yang Anda
ketahui!!
2.
Sebutkan dua aliran dalam kurikulum. Jelaskan
perbedaan masing-masing secara singkat.
3.
Aliran manakah definisi kurikulum yang tertuang
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?
4.
Definisi yang manakah yang Anda paling lengkap.
Jelaskan apa alasan Anda.
Tes Formatif
Pertemuan IV: Komponen Kurikulum
1.
Sebutkan dan jelaskan komponen kurikulum
menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.
Sebutkan komponen utama kurikulum menurut
Subandiyah;
3.
Sebutkan komponen penunjangnya;
4.
Menurut Anda komponen kurikulum yang sangat
penting?
Tes Formatif Pertemuan V: Hubungan Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan
Pendidikan
1.
Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan
antara kurikulum dengan pengajaran dan pembelajaran.
2.
Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan
antara pengajaran dan pembelajaran dengan tujuan pendidikan.
3.
Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan
antara kurikulum dengan tujuan pembelajaran.
Tes Formatif Pertemuan
VI: Macam-macam Kurikulum
1.
Jelaskan perbedaan antara kurikulum ideal dan
kurikulum aktual!
2.
Jelaskan apa yang dimaksud kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)! Berikan contohnya.
3.
Jelaskan apa yang dimaksud separated curriculum, corelated curriculum, dan integrated curriculum. Berikan contohnya.
4.
Jelaskan pengertian national curriculum, state curriculum, dan school curriculum. Berikan contohnya.
Tes Formatif Pertemuan
VII: Proses Pengembangan Kurikulum
1.
Apakah yang dimaksud pengembangan kurikulum (curriculum development)?
2.
Instansi manakah di Departemen Pendidikan Nasional
yang bertanggung jawab dalam pengembangan kurikulum?
3.
Lembaga apakah BSNP itu? Apa kaitannya dengan
proses pengembangan kurikulum?
4.
Menurut G Amstrong, siapakah yang terlibat dalam
pengembangan kurikulum?
5.
Jelaskan bagan proses pengembangan kurikulum
menurut Said Hamid Hasan sebagai berikut:
Tes Formatif
Pertemuan VIII (UTS)
Tes tertulis dalam bentuk esai.
1.
Kurikulum 1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) (B/S)
2.
Kurikulum adalah apa yang diajarkan, guru
adalah siapa yang mengajarkan, dan siswa adalah siapa yang diberikan pelajaran
(B/S).
3.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (B/S)
4.
Kurikulum dapat diartikan sebagai sejumlah mata
pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik (B/S)
5.
Kurikulum faktual amat ditentukan oleh agen
pembelajaran atau guru (B/S)
6.
Kurikulum sebelum tahun 1968 masih menganut
kurikulum terpisah-pisah (separated
curriculum) (B/S)
7.
Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak diketahui oleh guru
(B/S)
8.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (B/S)
9.
Rencana Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama
di Indonesia (B/S)
10.
Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum
2004 termasuk kurikulum sekolah (B/S)
11.
Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004
termasuk kurikulum ideal (ideal
curriculum) (B/S)
12.
Rencana Pelajaran merupakan istilah lama untuk kurikulum
(B/S)
13.
Sebelum tahun 1968 dunia pendidikan di Indonesia
telah mengenal istilah kurikulum (B/S)
14.
Secara etimologis, kurikulum berarti jarak yang
harus ditempuh oleh pelari (B/S)
15.
Semua kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan oleh
sekolah juga termasuk dalam pengertian kurikulum (B/S)
16.
KTSP termasuk dalam kategori kurikulum national curriculum (B/S)
17.
Rumusan tujuan terdapat dalam kurikulum (B/S)
18.
Jika kurikulum termasuk dalam kategori ideal curriculum, maka proses
pembelajaran dan pengajaran termasuk dalam kategori actual curriculum (B/S)
19.
Proses pembelajaran dan pengajaran dilaksanakan
tidak lain untuk mencapai tujuan pendidikan (B/S)
20.
Masyarakat awam tidak dapat dilibatkan dalam
penyusunan kurikulum (B/S)
Tes Formatif Pertemuan
IX: Perkembangan Kurikulum di Indonesia
1.
Apakah kurikulum pertama yang dimiliki Indonesia?
Apakah ketika itu telah menggunakan istilah kurikulum?
2.
Apa pomeo dalam masyarakat yang menyatakan bahwa
setiap ganti menteri ganti kurikulum di Indonesia? Benarkah hal tersebut?
Jalaskan argumentasi Anda.
3.
Kapan istilah kurikulum pertama kali digunakan di
Indonesia?
4.
Sebelum sekolah-sekolah menyusun sendiri
kurikulumnya dalam KTSP, sebelumnya sekolah-sekolah menggunakan kurikulum apa?
5.
Apa itu BSNP? Jelaskan.
Tes Formatif Pertemuan X:
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I
1.
UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur tentang apa?
2.
Sedang PP Nomor 19 Tahun 2005 mengatur tentang
apa pula?
3.
Adapun Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007
mengatur tentang apa?
4.
Di tingkat sekolah siapakah yang paling
bertanggung jawab dalam penyusunan KTSP?
5.
Apakah yang dimaksud KTSP? Ingat bukan
kepanjangannya lho.
6.
Siapakah yang mengkoordinasikan dan melakukan
supervisi dalam penyusunan KTSP?
7.
Sebutkan 8 (delapan) standar nasional
pendidikan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2005.
8.
Apa yang dimaksud dengan student-centered approach? Apa lawan
pendekatan tersebut?
9.
KTSP disusun dengan memperhatikan
keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan. Apa maksudnya?
10.
Sebutkan dua dokumen KTSP. Jelaskan
dokumen pertama.
Tes Formatif Pertemuan XI:
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II
1.
Sebutkan dua dokumen yang harus disiapkan oleh
sekolah untuk dokumen II KTSP?
2.
Siapakah yang paling memiliki peran untuk menyusun
dua dokumen tersebut?
3.
Apakah sekolah dapat menjalin kerja sama dengan
organisasi profesi pendidik untuk menyusun dua dokumen tersebut?
Tes Formatif Pertemuan XII:
Praktif Penyusunan Silabus
1.
Apakah silabus itu?
2.
Siapa yang harus menyusun silabus?
3.
Apa landasan penyusunan silabus?
4.
Sebutkan kolom-kolom yang harus ada dalam silabus!
Tes Formatif Pertemuan XIII:
Praktik Penyusunan RPP
1.
Apakah yang dimaksud
RPP?
2.
Apakah RPP sama dengan
lesson plan, atau Rencana Pengajaran, atau Satuan Pelajaran?
3.
Bagaimana format RPP,
dan jelaskan secara singkat!
4. Apakah itu PAKEM?
Tes UAS (Pertemuan XIV)
1.
Dokumen I KTSP berisi tentang silabus dan Rencana
Pelaksanaaan Pembelajaran (B/S)
2.
Dokumen II KTSP berisi tentang landasan, program,
dan pengembangan kurikulum (B/S)
3.
Guru senior tidak perlu membuat RPP (B/S)
4.
KTSP dapat disebut sebagai kurikulum nasional
(B/S)
5.
KTSP disusun oleh Pusat Kurikulum (B/S)
6.
KTSP terdiri atas dokumen I dan dokumen II (B/S)
7.
Kurikulum 1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) (B/S)
8.
Kurikulum adalah apa yang diajarkan, guru adalah
siapa yang mengajarkan, dan siswa adalah siapa yang diberikan pelajaran (B/S).
9.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (B/S)
10.
Kurikulum dapat diartikan sebagai sejumlah mata
pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik (B/S)
11.
Kurikulum faktual amat ditentukan oleh agen
pembelajaran atau guru (B/S)
12.
Kurikulum sebelum tahun 1968 masih menganut
kurikulum terpisah-pisah (separated
curriculum) (B/S)
13.
Kurikulum tersembuny (hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak diketahui oleh guru
(B/S)
14.
Pada masa lalu RPP dikenal dengan Rencana
Pembelajaran (RP) atau Satuan Pembelajaran (B/S)
15.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (B/S)
16.
Proses penyusunan KTSP melibatkan para pemangku
kepentingan pendidikan (B/S)
17.
Rencana Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama
di Indonesia (B/S)
18.
Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum
2004 termasuk kurikulum sekolah (B/S)
19.
Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum
2004 termasuk kurikulum ideal (ideal
curriculum) (B/S)
20.
Rencana Pelajaran merupakan istilah lama untuk kurikulum
(B/S)
21.
RPP sebenarnya sama dengan rencana mengajar (B/S)
22.
Sebelum tahun 1968 dunia pendidikan di Indonesia
telah mengenal istilah kurikulum (B/S)
23.
Secara etimologis, kurikulum berarti jarak yang
harus ditempuh oleh pelari (B/S)
24.
Semua kegiatan yang dirancang oleh sekolah juga
termasuk dalam pengertian kurikulum (B/S)
25.
Setiap guru harus membuat silabus dan RPP (B/S)
1.2 Umpan Balik
1.
Tugas mandiri dan tes yang akan dinilai adalah:
(A) tugas mandiri, (B) tes formatif, (C) UTS (ujian tengah semester), dan (D)
UAS (ujian akhir semester).
2.
Bobot A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 4
3.
Nilai Akhir Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3)
+ (DX4) : 4.
4.
Dengan skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan
sebagai berikut:
Baik Sekali
= 80 – 100
Baik =
70 – 79
Sedang =
60 – 69
Kurang =
< 60
2 Referensi
Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia II. 1994. Kurikulum Untuk Abad
Ke-21. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
McNeil, John. 1985. Curriculum, A Comprehensive Introduction.
Boston:
Little, Brown and Company.
Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum
dan Pembelajaran.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rochman Natawidjaja (Ed).
1979. Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum, Alat Peraga, dan Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Depatemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,
dari Konsepsi Ke Implentasi. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta:
Hikayat Publishing.
Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
3 Lampiran
3.1 Lampiran 1:
KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
- filosofi kurikulum
- ruang lingkup komponen kurikulum
- polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
- posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum
ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject
matter", "content" atau bahkan "transfer of culture".
Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture"
adalah dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan filosofi yang
dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang
memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas.
Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan
filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan
intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104)
perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi
"cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan
essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan
"academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara
keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the
intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that
constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten
kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading,
rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa
kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental
academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern
languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu
focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang
sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta
didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating
tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang
dialami oleh orang tua mereka.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya
memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama
sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan
masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
- peningkatan iman dan takwa;
- peningkatan akhlak mulia;
- peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan dunia kerja;
- perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas
menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang
menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan
agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global.
Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab
permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan
dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti
kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat
perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang
universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal
seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi
dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Darling-Hammond, L. (1996). The
right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and
practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London:
Teachers College, Columbia
University
Eggleston, J.T. (1977). The
Sociology of the School Curriculum. London:
Routledge & Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language,
culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content
Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization.
Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural
Issues and Human Resources Development. Paper presented at International
Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the
Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum,
dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh
Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum
Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London:
Teachers College, Columbia
University
Marsh,C.C. (1997). Planning, Management
and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A
Comprehensive Introduction. Boston:
Little, Brown and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C.
(1992). Charting new maps:
multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural
Education and Small
School. ERIC Digest. ED
348196.
Olivia, P.F. (1997).. 4th Developing
the Curriculum edition. New York:
Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum:
Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L.
(1980). Curriculum Development:
Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum
Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California:
McCutchan Publishing Corporation
3.2 Lampiran 2:
PROGRAM INOVATIF SEKOLAH
Oleh Suparlan *)
Mereka yang berfikiran hebat
membicarakan ide-ide.
Mereka yang berfikiran
sedang membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang berfikiran sempit
membicarakan orang lain
(Eleanor Roosevelt, 1884 – 1962, mantan first lady AS)
Inovasi membedakan antara
pemimpin dan pengekor
(Steve Jobs, pendiri Apple
Computer)
Innovation is
change that creates a new dimension of performance
(Peter Drucker:
Hesselbein, 2003)
Innovation
is the creation of the new or the re-arranging of the old in a new way
(Michael Vance)
Kita
sekarang akan mencoba menjadi orang yang berfikiran hebat. Siapa takut? Kita
sedang membicarakan ide-ide atau gagasan-gagasan, bukan membicarakan
fakta-fakta saja, apalagi membicarakan orang lain. Gagasan apa saja itu?
Tentang program inovatif sekolah.
Benar
sekali. Tapi, gagasan-gagasan yang akan ditulis ini mungkin saja memang bukan
benar-benar baru bagi sekolah tertentu. Namun sekolah yang lain mungkin dapat menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Memang, gagasan baru juga harus semua komponennya harus baru. Gagasan baru itu
bisa jadi dari gagasan yang sudah lama, yang kemudian diperbaiki, disempurnakan
dengan memperbaiki satu atau beberapa elemennya, sehingga menjadi lebih baik
dan bermanfaat. Itu pun sudah dapat disebut sebagai apa yang dikenal
dengan inovasi. Innovation is the creation of the new or the re-arranging of
the old in a new way (Michael Vance)
Tulisan
ini akan mencoba membahas tentang program sekolah yang dapat dinilai inovatif.
Peter Drucker menjelaskan kepada kita bahwa inovasi sesungguhnya adalah perubahan
yang menciptakan satu dimensi baru kinerja organisasi. Dalam hal ini, kinerja
lembaga pendidikan sekolah.
Pemberdayaan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Sungguh,
kita harus malu dengan peringkat ke empat di Pesta Olahraga Asia Tenggara. Kita telah jauh ketinggalan dari negara
Thailand. Bahkan juga ketinggalan dari Vietnam. Kondisi ini juga tampak dari
Human Development Index (HDI) Indonesia yang berada di bawah Vietnam. Padalah
dahulu, dalam acara olahraga yang bergengsi ini kita selalu unggul. Boleh
dikatakan bahwa negara yang lain berebut pada urutan kedua. Boleh jadi semua
itu terjadi memang karena dampak negatif dari krisis multidimensional yang
masih belum sepenuhnya usai. Namun, banyak orang yang meneropongnya dari faktor
kemunduran dunia pendidikan kita. Dengan demikian, maka sumber masalahnya
adalah lembaga pendidikan sekolah. Program peningkatan kompetensi SDM secara
terencana dan berkelanjutan memang harus dimulai di lembaga pendidikan sekolah.
Setelah lembaga pendidikan keluarga, maka lembaga pendidikan sekolah harus
menjadi tempat yang strategis untuk dapat meningkatkan kompetensi SDM yang
handal. Untuk dapat membangun SDM yang handal, kita tidak bisa hanya melakukan
yang biasa-biasa saja. Juga tidak hanya dengan program-program yang biasa. Kita
harus melakukan hal yang luar biasa. Dengan kata lain, kita harus melakukan
hal-hal yang inovatif. Lembaga pendidikan sekolah harus merancang berbagai
program yang inovatif. Pemberdayaan KKG dan MGMP harus dapat digunakan sebagai
wahana yang efektif untuk dapat meningkatkan kompetensi guru di sekolah.
Program Pemberian Susu dan Makanan Tambahan
Di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur,
Malaysia, sebagai ilustrasi, sebagaimana juga di sekolah-sekolah lain di tanah
air, para siswa harus mengikuti upacara bendera di sekolah. Dalam beberapa kali
upacara bendera, ketika pembina upacara menyampaikan pidatonya, atau ketika
bendera merah putih dinaikkan beberapa anak jatuh pingsan. Selidik punya
selidik, masalah ini terjadi karena banyak anak-anak yang tidak sarapan pagi.
Bukan hanya itu, ada kemungkinan mereka juga mengalami kekurangan gizi dan
dehidrasi.
Penemuan tentang rendahnya kebugaran
jasmani, kesehatan, dan gizi anak-anak kita perlu mendapatkan perhatian kita
semua. Hal ini sama sekali berbanding terbalik dengan keadaan peserta didik di
Negeri Cina. Para siswa di sekolah yang cukup luas di negeri tirai bambu itu
diwajibkan selalu melakukan olahraga dalam cabang olahraga yang mereka suka.
Semua fasilitas olahraga telah disediakan, dan setiap harinya mereka harus
melakukan olahraga sesuai dengan hobinya. Hasilnya? Stamina olahragawan dari
negeri tirai bambu itu sangat luar biasa. Mereka yang suka berolahraga memiliki
kecerdasan fisikal atau kecerdasan ragawi atau kecerdasan yang
dikenal dengan bodily kinestetics yang tinggi. Termasuk di dalamnya
adalah senam dan menari dengan olah tubuh yang penuh dengan rima dan irama itu.
Kalau pun negeri kita pada saaat ini masih
mengalami kesulitan untuk mencari sebelas pemain sebak bola, karena selalu keok
dalam arena pertandingan olah raga yang bergengsi ini, maka masalahnya tidak
lain dan tidak bukan adalah karena kecerdasan fisikal generasi muda kita yang
masih rendah. Selain itu, asupan gizi generasi muda kita masih di bawah
rata-rata anak-anak di dunia. Jika negeri ini masih juga mengalami masalah
mahalnya susu untuk tumbuh kembang anak-anak kita, negeri adidaya Amerika
Serikat telah jauh memikirkan pentingnya makan siang anak-anak sekolah melalui
program makan siang anak-anak usia sekolah melalui National School Lunch
Program Act yang telah ditandatangani oleh Presiden Truman pada tahun
1946. Bahkan pada tanggal 14 Oktober
1940, pemerintah Amerika Serikat juga telah mengeluarkan program susu sekolah (school
milk program). Rupanya, DPR kita masih sibuk dengan urusan politik
ketimbang dengan urusan makan siang anak-anak.
Nah apa yang harus diprogramkan oleh
sekolah untuk mengatasi itu semua? Pemberian bubur kacang hijau, susu, dan
makanan bergizi lainnya secara rutin sudah tentu menjadi kegiatan yang sangat
berguna bagi anak-anak kita. Jangan biarkan anak-anak kita membiasakan jajan di
tepi-tepi pagar sekolah, yang dari aspek kesehatan dan gizinya tidak dapat kita
pertanggungjawabkan.
Penciptaan Lingkungan Sekolah Yang Sehat
Program ini sangat terkait dengan program
sebelumnya. Pertama, program yang
harus dibenahi adalah kantin sekolah. Ciptakan kantin sekolah yang hiegenis
dengan jenis makanan yang bergizi. Kedua,
citakan lingkungan sekolah yang bersih, rindang, dan indah. Program 7K perlu
digalakkan lagi, bukan hanya secara seremonial belaka, tetapi harus menyentuh
perubahan kebiasaan para penghuninya. Memasang papan bertuliskan ”LINGKUNGAN
BEBAS ROKOK” merupakan satu gebrakan yang dapat dilakukan. Tulisan-tulisan
lain, seperti ”TARUH SAMPAH PADA TEMPATNYA”, atau ”CUCI TANGAN SEBELUM MAKAN”,
atau ”KESEHATAN SEBAGIAN DARI IMAN” dapat diharapkan dapat mengisi nurani
anak-anak kita yang masih putih itu. Lomba kebersihan dan keindahan kelas dapat
diadakan pada saat momen-momen tertentu, misalnya peringatan hari besar
nasional dan agama, atau peringatan hari lahir sekolah.
Talent Scouting Bibit Olahraga dan Seni
Pembinaan olahraga memang menjadi tugas
utama guru olahraga dan keshatan. Tetapi, program pembinaan olahraga secara
teroganisasi di sekolah sudah barang tentu menjadi tanggung jawab semua
komponen sekolah. Di samping olahgara rekreasi, pencatatan secara rutin rekor
olahraga prestasi harus tersedia di sekolah. Sekolah harus memiliki catatan,
nama-nama siswa dengan rekor tertingginya dalam cabang olahraga tertentu.
Dengan catatan ini, jika ada kegiatan pertandingan olahraga, maka sekolah
tinggal memilih mereka untuk dapat mengikuti ajang pertandingan olahraga yang
akan diikuti. Pencatatan prestasi olahraga ini dapat dilakukan pada awal tahun
pelajaran atau pada saat usai ulangan semester pertama menjelang libur sekolah.
Dengan demikian, sekolah dapat menjadi tempat pembibitan olahraga dan seni yang
pertama dan utama.
Science-Tech Club
Sama dengan talent scouting dalam bidang
olahraga, sekolah juga harus melakukannya untuk bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebenarnya para guru telah memiliki pengetahuan dan keterampilan
praktis dalam penelitian sederhana. Namun banyak di antaranya kurang begitu
yakin bahwa anak-anak mampu melakukannya. Padahal obyek penelitian sederhana
bagi anak-anak terbentang luas di sekolah dan lingkungannya. Sayur apakah yang
menjadi kegemaran siswa, sebagai contoh, adalah pertanyaan penelitian sederhara
yang dapat dilakukan bukan di SMP, tetapi sudah bisa dilakukan di SD. Topik-topik
lainnya misalnya: (1) rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga, (2) rata-rata
tinggi dan berat badan anak-anak kelas 5 SD, (3) jarak tempuh anak-anak ke
sekolah, dan masih banyak yang lain.
Kebun Sekolah dan Penanaman Sejuta Pohon
Jika secara internasional isu pemanasan
global telah melahirkan Bali Roadmap untuk memecahkan isu tersebut, maka apa
yang dapat dilakukan di tingkat sekolah? Tentu saja pendidikan lingkungan hidup
harus menjadi tanggung jawab sekolah. Untuk sekolah yang tidak memiliki lahan
yang luas, setiap kelas dapat diminta untuk membikin taman di depan kelasnya
masing-masing. Atau dapat meminta kepada para siswa untuk masing-masing dapat
memiliki tanaman kesayangan yang harus dipelihara setiap hari dengan sepenuh
hati. Disiram, dipupuk, dan disiangi kalau ada rumput yang menggangunya. Jika
ada sedikit lahan di depan sekolah, maka sekolah juga dapat membuat taman
sederhana untuk menanam tanaman hias atau tanaman bunga, agar sekolah tidak
terasa gersang. Jika di lingkungan sekolah ada lahan tidur yang tidak
dimanfaatkan oleh yang empunya, sekolah dapat meminjamnya untuk dijadikan kebun
sekolah tempat praktik anak-anak menanam berbagai jenis tanaman. Selain itu,
sekolah juga dapat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan program
penanaman satu juta pohon.
The First Day Festival
Ide ini diusulkan oleh seorang guru di
suatu sekolah di Amerika Serikat. Pada waktu itu, pelibatan peran serta
orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan masih menjadi sesuatu yang langka.
Setelah program ini dilaksanakan, antusiasme orangtua dan masyarakat tiba-tiba
meningkat secara drastis. Sejak adanya festival hari pertama sekolah itu,
orangtua siswa dan masyarakat merasakan adanya peningkatan keakraban dan
kekeluargaan antara sekolah dan orangtua siswa secara luar biasa. Orangtua dan
masyarakat tidak lagi merasa sebagai klien, tetapi sebagai pemangku kepentingan
yang memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan pihak kepala sekolah dan
para guru di sekolah. Program seperti ini dapat berupa program lain yang tidak
kalah inovatifnya. Acara tutup tahun sekolah, sebagai contoh, dapat menjadi
media untuk menyatupadukan sekolah dengan orangtua dan masyarakat. Dalam acara
tersebut, para siswa dapat menunjukkan kebolehannya, baik dalam bidang akademis
maupun nonakademis, di hadapan orangtua dan masyarakat. Dampaknya, orangtua dan
masyarakat menjadi lebih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap upaya
sekolah dalam meningkatkan kompetensi siswa. Dampak pengiringnya, orangtua dan
masyarakat menjadi lebih antusias dalam ikut serta memberikan dukungan dan
bantuan terhadap pelaksanaan program-program inovatif sekolah.
Akhir Kata
Masih sangat banyak program inovatif lain
yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Tentu saja berdasarkan kondisi sekolahnya
masing-masing. Sebagai contoh, program sekolah berwawasan imtaq, program
sekolah yang aman dan nyaman, program sekolah ramah anak, kegiatan outbond, dan masih banyak yang lainnya.
Penerapan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) dan contextual teaching and learning (CTL)
kini menjadi program inovatif di sekolah yang menjadi primadona.
Pendek kata, dengan program inovatif,
semua warga sekolah dan pemangku kepentingan ingin mencoba sesuatu yang tidak
biasa. Ingin mencoba sesuatu yang baru, yang kalau bisa yang luar biasa. Itu
semua dapat dimulai dengan program inovatif yang sederhana, dan sudah barang
tentu yang tidak memberatkan keuangan orangtua siswa. Yang penting, semua warga
sekolah ingin melakukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya kurang
mendapatkan perhatian. Tentu saja, semua itu harus dirancang adalam rencana
yang matang, yang dikenal dengan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), yang
disusun oleh sekolah bersama dengan pemangku kepentingan. Dengan kata lain, RPS
yang disusun hendaknya memuat program-program inovatif, baik yang terkait
dengan aspek akademis maupun nonakademis di sekolah.
Sulitkah semua itu kita lakukan? Semua itu
memang sulit untuk pertama kalinya. All
beginning is difficult. Semua permulaan itu memang sulit. Tetapi, yakinlah
bahwa semua itu dapat dilakukan jika kita memiliki kemauan. Dimana ada kemauan
di situ ada jalan. Mudah-mudahan.
Depok, 22 Desember 2007
3.3 Lampiran 3:
MEMBERANTAS KORUPSI MELALUI KURIKULUM
Oleh icwweb
Minggu, 17 September 2006 12:28:40
Institusi
pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan
nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung
bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci
serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut
aktif memeranginya.
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006
3.4 Lampiran 4:
APA YANG
DIPELAJARI ANAK DI SEKOLAH?
Oleh Anis Suryani -
Artikel, 1- Desember 2004
Cica mencuci
cangkir dan piring
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:
Wajib Belajar
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:
Wajib Belajar
Desa kelahiran
orang tua Indri tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun sekali. Itu pun
kalau ada air hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong dan ubi jalar.
Keadaan seperti itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya
tergolong makmur. Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk
Home Industry atau Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko suvenir,
hampir semua suvenir di sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau kita
berbelanja kue-kue tradisional. Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya
Indri. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak
kita jumpai penduduk yang duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon
sebagian besar remaja bekerja di kota lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke
desa untuk membeli sawah dan menyekolahkan adik-adik mereka. Jika ada
anak usia sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib menegur.
Jika ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.
Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).
Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.
Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).
Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka
Arsyar, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.
Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran Baca di Indonesia Menyedihkan.
(2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian
Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Hilum, Rium (1997). Pengaruh Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah
cerita dalam aljabar terhadap prestasi siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP
Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita
Shaver, James P ed. (1991).
Handbook of Research on Social Studies
Teaching and Learning. New York:
National Council for the Social Studies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar